Bersyukurlah Dimana Saja & Kapan Saja



Setelah kemarin, saya bercerita tentang minoritas, sekarang saya akan bercerita tentang bersyukur.

Cerita yang ada di postingan ini adalah lanjutan dari cerita kemarin. Sesudah saya bersekolah  3 tahun di Bogor. Saya lalu kembali lagi ke Solo. Ternyata, ayah pindah-pindah kerjanya, dan kami sekeluarga memutuskan untuk tidak mengikuti beliau. Kami pulang ke Solo, menginap kembali ke rumah yang dulu pernah kami tempati. 


#1 Gitar Pinjaman 

Di Bogor, saya dipinjami gitar oleh Bude saya. Gitar tersebut katanya termasuk gitar tua yang nggak pernah dipake. Dari bentuknya sudah kelihatan sih, senar yang karatan, bagian belakang gitar mulai mengelupas, dan sarang laba-laba menghiasi lubang gitar. Benar-benar tak terawat. Daripada semakin rusak, akhirnya saya pakai untuk belajar bermain gitar. 

Selama dipinjami gitar itu, saya nggenjreng asal-asalan. Harusnya gitar itu kan suaranya merdu, di tangan saya suaranya malah kayak kaleng rombeng. Ditambah lagi, saya gitaran dan bernyanyi, jadi berkombinasilah antara kaleng rombeng dan suara ngebas ala Afga belum puber. 

Saya ingat, lagu pertama yang saya pelajari adalah lagunya Padi, Mahadewi. Saya pilih lagu itu bukan karena chord (kunci gitar) nya gampang, tapi karena suka aja. Efeknya, lagu yang cantik dan romantis akhirnya rusak di tangan saya. Kalo pencipta lagunya denger lagunya saya nodai, mungkin dia sudah nangis satu galon. 

Pindah ke Solo, gitar itu saya bawa, dan resmi menjadi milik saya. Saat di Solo, saya mulai mahir, sudah paham chord dan bisa memainkan lagu dengan syahdu. Gitarnya pun sudah "sedikit" lebih baik sekarang. Senar baru, bersih terawat, serta tak ada sarang laba-laba. 

Melihat ketertarikan saya dengan gitar, Ibu saya lalu menawarkan saya les gitar di suatu tempat yang cukup terkenal. Saya lalu mengiyakan, agar saya makin yahud maennya. 

Pada suatu waktu, diadakan acara pensi SMP. Tiap kelas, wajib menampilkan perform di panggung. Kelas saya kemudian memilih untuk ngeband. 

Bandnya terdiri 1 vokalis, 2 gitaris, 1 bassis, dan 1 drummer. Dan diantara 2 gitaris itu, saya salah satunya. 

Saya, yang awalnya cuma jrang-jreng dengan gitar pinjaman, ternyata bisa tampil ngeband di acara pensi sekolah. Senangnya bukan maen. 

Untuk tampil di pensi, pasti memerlukan latihan yang rutin. Saya dan teman-teman saya, latihan di studio band dekat sekolah. 

Teman ngeband saya, ada yang bawa gitar listrik sendiri dari rumah. Ada juga yang bawa efek gitar listrik. Kalo saya? Saya cuma bawa badan. Hehehe. 

Tingkat keseriusan kelas lain untuk pensi ternyata juga sama tingginya. Ada yang bawa jimbe, keyboard, sampai biola. Mereka tampak seperti calon musisi profesional. Atau jangan-jangan salah satu dari mereka memang sudah menjadi musisi pro di tahun 2017 ini? Who knows? 

Kembali lagi ke latihan, kami lalu mulai memainkan lagu yang hendak kami bawakan. Bisa jadi karena maennya sama teman-teman yang sudah jago, latihan jadi terasa lebih mudah. Langsung klop. Cocok kayak jodoh yang sudah ditakdirkan untuk bersama. 

Beberapa latihan berlalu, kami pun akhirnya perform di acara pensi. Kami tampil sesuai dengan latihan. Kami bermain dengan maksimal. Tidak ada masalah, tidak ada halangan. Semua berjalan baik-baik saja. 

Dulu cuma bermain musik dengan gitar pinjaman, sekarang dapat ngeband di acara pensi sekolah. Siapa sangka, semua berawal dari gitar tua yang terawat. 

"Jangan pernah menyepelekan hal remeh. Bisa jadi, hal remeh itu bisa memberi warna baru dalam hidupmu." 


#2 Sepeda Kumbang

Di Solo, saya berangkat ke sekolah memakai sepeda. Jarak antara rumah dan sekolah cukup dekat, jadi mengendarai sepeda tidak terasa melelahkan. 

Awal-awal sekolah, saya berangkat dan pulang naik sepeda sendirian. Kemudian, bertemu dengan sesama pengendara sepeda lainnya, saya lalu ngepit bareng kanca-kanca. 

Ngepit: sepedaan
Kanca-kanca: teman-teman 

Bersepeda bareng temen ini berlangsung terus menerus selama saya SMP. Dari kelas 1 sampai kelas 3. Tidak ada perubahan. 

Kalo teman saya yang lain, ada perubahan. Yang dulunya diantar orang tua, saat kelas 3, menjadi naik motor. 

Pengendara sepeda seperti saya, melihat teman naik motor, tentunya ada rasa kepengen juga. Tidak merasa capek, dan tidak kepanasan (karena bisa ngebut).

Berbeda kalo naik sepeda, meskipun jarak sekolah-rumah dekat, pasti tetap tersengat sinar matahari di siang bolong. Belum lagi, kalo maen ke rumah temen. Rumah teman SMP saya lumayan jauh. Ada yang 10 menit perjalanan, ada juga yang 30 menit.  Pantas otot paha kami besar-besar semua.

Suatu hari di sekolah, saya dan temen ngepit saya, berencana maen ke rumah temen. Saya mencoba mengajak teman sebangku saya, pengendara sepeda kumbang. Abid namanya. 

Saya menepuk bahunya, "Oi, Bid, Mengko dolan yoh." (nanti maen yoh) 

"Wah, ra iso aku, Dy." (nggak bisa aku) 

"Lha ngopo, Bid? Kowe ketoke jarang melu dolan deh." (lha kenapa, Bid? Kamu kayaknya jarang ikut maen deh) 

"Nek aku melu dolan, mengko mulih ku kesoren, Dy." (kalo aku ikut maen, nanti pulangku kesorean) 

"Emang omahmu seadoh kui? Paling 20 menit tekan to?" (emang rumahmu sejauh itu? Paling 20 menit nyampe kan?) 

"Omahku kan Boyolali, Dy. Nek ngebut iso 30 menit, nek santai mungkin iso 40 menit atau malah sak jam." (rumahku kan Boyolali, Dy. Kalo ngebut bisa 30 menit, tapi kalo santai mungkin bisa 40 menit atau malah 1 jam) 

Dan pada detik itu, saya terdiam. 

Bener juga ya. Kata saya dalam hati. 

Abid ini memang rumahnya di Boyolali. Dia bersepeda Boyolali - Solo. Kalo diajak maen sepulang sekolah, ia memang jarang ikut. Dulunya saya mikir, Abid sibuk dengan urusannya. Tapi, saya baru tahu kalo jarak jadi salah satu alasannya. 

"Yo wes, nek ngono, Bid. " (ya sudah kalo gitu, Bid)

Saya melangkah menjauhi Abid dengan kepala berputar hebat. Saya baru bersepeda terkena panas sinar matahari sudah berpikir macam-macam. 

Saya lupa, kalo di luar sana, ada yang harus mengarungi dahsyatnya sinar mentari setiap hari tanpa mengeluh. 

Saya lupa, kalo di luar sana, ada yang mengayuh sepeda kumbangnya sampai bermandikan keringat, melawan badai, demi sampai ke sekolah. 

Selang beberapa menit kemudian, saya sudah sampai di kantin sekolah. Saya lalu membeli es teh, hendak saya minum perlahan bersama hikmah yang baru saya dapat barusan. 

"Bersyukurlah dengan apa pun yang kamu miliki. Sekecil apa pun itu." 

#3 Nokia Jadul

Di 2017, teknologi handphone sudah canggih. Lengkap dengan kamera, internet 4G, touchscreen multi touch, dan masih banyak lagi. 

Ketika saya SMP, handphone belum secanggih sekarang. Saat itu, handphone yang berjaya bukan iPhone, Samsung, juga  Blackberry. Itu adalah eranya handphone sejuta umat. Yak, betul, handphone yang dimaksud adalah Nokia

Saya ingat, handphone pertama saya itu Nokia 1100. Handphone monokrom, layarnya cuma 2 warna doang. Oranye dan hitam. Fungsinya utama hanya telepon dan sms. 

Apakah ada gamesnya? Ada. Tapi ya bukan Angry Birds, atau CoC. Gamesnya cuma Snake. Inti gamesnya tentang ular yang tiap makan, akan semakin panjang. Dan baru mati, kalo nabrak badan sendiri. Games yang sungguh simple, tapi untuk dapat high score susahnya minta ampun. 

Ada fungsi "minor" lainnya, yaitu bisa nyalain senter. Ada lampu kecil di bagian atas handphone. Keunggulannya, kalo di rumah mati lampu, nyalain aja senter dari nokia. Lumayan, bisa hemat lilin. 

Di sekolah saya, murid tidak boleh membawa handphone. Jelas. Seperti peraturan sekolah lain pada umumnya. Tetapi, pasti ada aja teman saya yang membawa handphone secara sembunyi-sembunyi ke kelas. 

Teman saya bawa hp yang cukup ngetren pada saat itu. Nokia 6600, nokia berkamera (dulu handphone kamera 2MP termasuk canggih banget) yang harganya berjuta-juta. Atau Nokia N-Gage, handphone yang pegangan kayak game nintendo, layar di tengah, dan di bagian kiri dan kanan ada joystick yang dukung buat maen game. 

Apakah saya juga ikut bawa handphone sekolah? 

Oh, tentu tidak. 

Saya anaknya patuh terhadap tata tertib sekolah.

Tambah lagi, tidak ada faedahnya juga bawa Nokia 1100 ke kelas. Buat apa coba. Mau maenan senter di kelas? Mau nyenterin cicak pas pelajaran matematika? Bener-bener tidak elit dan berpotensi merendahkan diri sendiri. 

Selama 3 tahun SMP, saya tidak pernah bawa handphone sekolah. Gengsi. 

Pada suatu waktu, temen-temen saya maen ke rumah saya. Mereka jadi lebih sering kumpul di rumah saya semenjak saya punya PS2. 

Kalo sebelumnya, untuk maen PS2, harus sepedaan ke rental ps dulu. Sekarang nggak gitu lagi. Nggak ada lagi melawan panas cuma buat menghibur diri. Dan buat temen saya, mereka nggak harus ngeluarin uang per jamnya. Sebentar, kok saya merasa seperti dimanfaatkan teman-teman saya, ya? 

Btw, biasanya kami maen Winning Eleven atau Pro Evolution Soccer (PES). Maklumlah, cowok pasti maennya bola. 

Maen bola kan maksimal cuma 2 orang (2 stik), buat yang lain, harus menunggu giliran. Ada yang nontonin sambil komentarin temennya maen ps. Orang kayak gini sukanya menganggu konsentrasi. 

(Lagi ada yang maen, terus muncul suara komentator) 

"SHOOTING! Tekke, ra gol ik!" (tembak! Yaelah, ga gol) 

"Jegal! Jegal! Mengko (nanti) malah kebobolan lho!" 

"Kene (sini), tendangan bebas aku wae sih nendang. Dijamin gol." 

Orang-orang kayak gini, anehnya malah lebih heboh daripada yang maen ps. 

Ada teman saya yang tiduran sambil nyanyi-nyanyi dengerin musik dari radio/tape. Biasanya, kalo kami lagi maen, lagu yang diputer, lagunya Peterpan album Bintang di Surga. Somehow, I'm feeling old.

Kalo temen saya bawa hp, biasanya sibuk sendiri dengan hpnya. Sibuk mxit-an entah dengan siapa. (Dulu chatting belum pake whatsapp, tapi mxit) 

Tiba saat giliran saya maen. Sebagai tuan rumah, saya punya hak istimewa buat milih stik yang jauh lebih enak. 

Pas lagi seru-serunya maen, teman saya lagi memanggil. 

"Dy, Aldy..." untuk menyamarkan namanya, mari kita sebut dia Boboho. 

"Ada apa, Boboho?" tanya saya. 

"Kok dompetku ra enek (ga ada), ya?" bilangnya, sambil meraba-raba kantong celananya. 

"Ning tas? Wes digoleki? (Udah dicari)" saran saya, masih sambil maenan ps. 

"Aku ra ntau nyimpen dompet ning kono. Mesti tag kantong i." jawab Boboho, mulai merasa cemas. 

Saya pause dulu gamenya, dan mulai bantu mencari dompetnya. 

"Coba di kasur digolek i sek (dicari dulu." bilang saya, sambil menurunkan bantal dan guling ke karpet. 

Boboho mulai menelusuri tiap jengkal kasur saya. Selang beberapa detik, ia berkata, "Ra enek i."

"Coba ning ngisor (di bawah) kasur." bilang teman saya yang lain. 

Kami lalu mencari ke bawah tempat tidur saya. Banyak tumpukan kardus berdebu dan sarang laba-laba di sana. Karena gelap, kalo dilihat dari pandangan mata, nggak bakal ngeh kalo ada dompet di situ. 

Saya lalu mengeluarkan Nokia jadul saya. Saya klik tombol merah 2X, kemudian keluarlah cahaya dari bagian atas handphone saya. 

Cahaya senter Nokia menerobos gelap, menjelajahi tiap celah yang ada. 

"Ah! Kui ning sebelah kardus sing kebuka!" teriak Boboho. 

"Sing endi?" (yang mana) 

"Sing kardus isine majalah Bobo, Dy. Enek dompetku!"

Akhirnya ditemukan juga dompetnya. Letak dompetnya cukup jauh, menempel tembok. Sepertinya jatuh, lewat pinggiran kasur saat ia sedang tiduran. 

Kami lalu mengambil dari atas kasur, dengan menyelipkan tangan saya ke pinggir kasur, tergapailah dompet milik Boboho ini. 

"Wah, tengkyu, lho Dy. Nek ra enek bantuanmu, dompetku ra bakal ketemu." ucapnya, senang sekali. 

Saya cuma tersenyum sambil mengangguk pelan. 

Alhamdulillah, dompetnya ketemu. Saya ikut senang pas ngeliat temen saya udah nggak cemas lagi. Dan tanpa disangka, Nokia jadul saya lah yang menjadi penyelamat pada tragedi ini. 

"Berbahagialah dengan apa yang kamu miliki."


You can see my labels and popular posts in here
You can follow my blog by click this link :) aldypradana.com  



Akan saya tutup dengan mempromosikan jualan online saya, Arsenio Store ID. Tempat menjual Apparel seperti Sweater, Hoodie, dan Celana yang simple dan minimalis. Cocok untuk traveling dan nongkrong. 

Untuk melihat produknya, bisa kunjungi Instagramnya, di @arsenio.store.id, dan Tokopedianya, Arsenio Apparel Store.

Instagram: @arsenio.store.id

Tokopedia: Arsenio Apparel Store


Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Kalau kamu suka tulisan ini, kamu bisa follow akun KaryaKarsa saya di sini. Dan kamu bisa mengapresiasi kreator, dengan cara memberikan tip di KaryaKarsa. Have a nice day 🙂


- short description about the writer-

I talk & write about movies and pop culture

Mari Kita Bicara Tentang Minoritas


 "Berbeda-beda tetapi tetap satu jua."
Sepertinya, saya perlu menulis tentang ini. Tentang kondisi dan situasi yang lagi rame sekarang. Di sini, saya tidak berbagi opini. Saya mau berbagi cerita. Yang dengan penuh harap, cerita saya bisa memberikan kesan mendalam. 

#1 Wong Solo

Saya lahir di Solo. Saya sekolah dari TK sampai SD kelas 3 di Solo. Namun, kelas 4 saya sekeluarga pindah ke Bogor, mengikuti Ayah yang kerja di Jakarta. 

Di Bogor, saya sekelas dengan teman baru. Saya, wong Solo, bertemu dengan kebanyakan orang Sunda dan Jakarta. 

Karena asli Solo, jelas suara dan gaya bahasa saya, medok banget. Kadang, saya masih terbawa membawa kata-kata khas Wong Jowo saat ngobrol dengan teman-teman saya. 

"Nanti sore, main yuk. Sepedaan kita!" bilang teman saya, heboh. 

"Oh, mau pit-pitan? Oke, siap!" jawab saya. 

"Apaan tuh pit-pitan?" tanya teman saya, sambil menggaruk-garuk kepalanya. 

(Pit-pitan: sepedaan)

Jadi, bisa dibilang, saya cukup unik dari asal muasal. Berbeda sendiri dengan yang lain. 

Karena keunikan saya ini, teman saya sering sekali mencoba bicara dengan bahasa Jawa. 

"Dy, wes mangan durung?"

"Dy, ayo mulih."

"Dy, awas ada kethek."

Kethek: monyet (bukan ketiak ya) 

Kata mereka cekikikan, dengan suara medok yang dibuat-buat. 

Itu sering mereka lakukan. 

Tapi mereka, melakukan itu bukan untuk mengejek atau menghina saya. 

Mereka melakukan itu karena saya pernah mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang keluar dari mulut saya secara spontan, saat bergerombol dengan mereka. 

Perlukah saya tersinggung? 

Tidak. 

Karena mereka cuma menirukan kata-kata saya. Mereka meniru dengan maksud akrab (dan tentunya bercanda :p) 

Dengan perbedaan itu, saya, satu-satunya Wong Jowo di antara teman-teman, kami masih bisa tetap bercanda, tertawa, dan berbagi cerita. 

"Mau beda suku: jawa, sunda, betawi. Teman, ya, teman. Tidak harus membedakan satu sama lain." 

#2 Muslim

Masih di sekolah saya yang di Bogor, saya 3 tahun di sana (Kelas 4B- 5B-6B). Di 3 tahun itu, kelas saya tidak mengalami perpindahan murid. Tidak ada murid dari kelas A pindah ke kelas B, atau sebaliknya. Paling cuma 1-2 murid baru masuk dari sekolah lain, datang mengisi bangku kosong dalam kelas. 

Di kelas saya, 99% diisi muslim. Wali kelas saya pun juga muslim. Dari murid sekitar 40an, ada 1 murid yang beragama non muslim (sengaja tidak disebut agamanya apa). 

Mari kita sebut dia, Alex. 

Bukan Alexander Graham Bell. Cukup Alex. 

Alex ini, setiap pelajaran agama, selalu keluar kelas, mencari guru agamanya. Biasanya guru agama Alex berada di ruang guru dan dia belajar di sana. 

Sementara kami, belajar pelajaran agama di kelas seperti pelajaran lainnya.  

Terkesan terlalu membedakan? 

Tunggu dulu. 

Saat ulangan harian, UTS, UAS, atau sekarang ada yang namanya UKK, kami mengerjakan soal ulangan di kelas. Di tempat yang sama.

Saat ulangan selesai, biasanya kami saling bertanya bener apa nggak jawabnya, atau sekedar, "Kamu bisa ngerjain nggak tadi?"

Kami juga tanya ke Alex. 

Kami, yang tau dia mengerjakan soal yang berbeda dengan kami, tetap bertanya dan mengajaknya mengobrol seperti biasa. 

Dan dia jawab dengan sejujurnya. Dengan nada ngobrol seperti biasa pula. 

Tidak hanya saat ulangan, sewaktu bermain atau kerja kelompok, kami dan Alex berkumpul seperti biasa. Tidak ada pembatas, tidak ada pengotak-otakan. 

Main, ya, main aja. 

Belajar, ya, belajar aja. 

Simple, kan? 

Sampai sekarang, saya kalo mau kenalan dengan orang lain, selalu bertanya nama, bukan bertanya, "Agamamu apa?"
#3 Kidal

Mari kita merangkum dua cerita tadi, ada satu Wong Jowo nyempil diantara orang Sunda dan Jakarta. Dan ada satu non muslim diantara muslim di kelas tadi. Lalu, apakah kami dipisahkan? Dibedakan? Dijauhi? 

Jawabannya, tidak. 

Kami tidak dipisahkan, tidak dibedakan, tidak pula dijauhi. 

Biasa aja. 

Begitu pun dengan teman saya yang satu ini.

Di cerita sebelumnya, saya pernah bilang tentang murid baru. 

Nah, di kelas 5 ada murid baru. Laki-laki. Rambutnya pendek, kulitnya gelap karena kelamaan main bersama sinar matahari. 

Mari kita sebut dia Wira. Wira Sableng. Hehehe. 

Bercanda kok, cukup Wira. 

Wira ini, kalo tidak salah, datang dari Bandung. Asli Sunda. Bisa bahasa Sunda. Beda dengan saya, cuma apal makanan khas Sunda. 

Ia juga muslim. Kalo pulang sore, kami biasanya sholat di mushola sekolah bareng. Terlihat tidak ada yang berbeda, sampai suatu waktu... 

Saya baru sadar akan keunikannya. 

Saya baru tau, ketika saya duduk di sebelahnya. 

Saat mencatat apa yang ditulis guru di papan tulis, saya menoleh untuk meminjam penghapus milik Wira. 

Barulah saya sadar, kalo dia menulis dengan tangan kiri. Wira ternyata kidal. Wira satu-satunya orang kidal di kelas saya. 

Apakah saya kaget? 

Apakah saya lalu menjauhinya? 

Apakah saya pergi keluar kelas, kemudian pindah ke sekolah lain? 

Tidak. 

Justru, saya penasaran. Saya baru pertama kali berteman dengan orang kidal. Saya malah terus menelusurinya. 

Dari oberservasi saya, saat pelajaran olahraga, dia lebih handal menggunakan tangan kirinya. Saat menendang bola. Saat menolak peluru. Saat memegang raket. Semuanya menggunakan tangan kiri. 

Kami teman sekelasnya, tahu dengan kondisi kidalnya. 

Namun, kami tetap berteman dengannya, tanpa membedakan-bedakan keunikan Wira. 

Jadi, di kelas kami, ada berbagai keunikan dan perbedaan. 

Ada yang muslim, ada yang non muslim. Ada yang Jawa, Sunda, Jakarta (Betawi). Ada yang right handed, ada yang left handed (kidal). Ada yang diantar orang tua, ada yang naik angkot, ada juga yang jalan kaki ke sekolah. 

Ada yang anak sulung, tengah, atau bungsu. Ada pula yang anak tunggal. Ada yang rambutnya lurus, keriting, bahkan botak mengkilap. Ada yang tinggi, kurus, gendut, dan pendek. 

Kami berbeda tiap individunya. 

Kami punya keunikan masing-masing. Ciri khas masing-masing. 

Kami, dengan segala perbedaan itu, bisa hidup bersama.

"Seharusnya tidak ada mayoritas - minoritas. Yang ada itu berbeda-beda tetapi tetap bisa hidup bersama."




Begitu saja dari saya, semoga tulisan bisa memberi kesan dan pesan untuk para pembaca di mana pun kalian berada.





Akan saya tutup dengan mempromosikan jualan online saya, Arsenio Store ID. Tempat menjual Apparel seperti Sweater, Hoodie, dan Celana yang simple dan minimalis. Cocok untuk traveling dan nongkrong. 

Untuk melihat produknya, bisa kunjungi Instagramnya, di @arsenio.store.id, dan Tokopedianya, Arsenio Apparel Store.

Instagram: @arsenio.store.id

Tokopedia: Arsenio Apparel Store


Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Kalau kamu suka tulisan ini, kamu bisa follow akun KaryaKarsa saya di sini. Dan kamu bisa mengapresiasi kreator, dengan cara memberikan tip di KaryaKarsa. Have a nice day 🙂


- short description about the writer-

I talk & write about movies and pop culture

Sunset di Pulau Seribu



Pinggir pantai terpenuhi orang-orang dengan kamera di tangan. Mengabadikan momen terbenamnya sang surya bersama orang yang dicinta. Berlarian ke sana kemari, mencari sudut yang tepat. Jari menyentuh pasir, lalu menuliskan nama orang yang disayang. Diantara kerumunan itu, terselip dua orang yang sudah melakukan itu semua.


“Udah foto-fotonya?” lirik sang pria, dengan tatapan satir.

“Belum, emang kenapa?”

“Selfie melulu dari tadi. Sampe lupa kalo ada orang di sebelahnya.”

“Kamu juga dari tadi ngerekam video juga, kan, buat vlog.”

“Tapi, kan cuma sebentar, nggak kayak kamu. Lama.” tangannya lalu menengadah. “Mana coba liat hasil selfienya.”

“Nggak, ah, nanti kamu suka.” menolak tangannya, lalu memasukkan hp ke kantong celana.

“Halah.”

“Hihihihi. Udah, yuk, makan. Laper.”

“Kamu aja yang pesen. Aku masih kenyang.”

“Oke deeh….” bilangnya, sambil menjauh dari kursi kayu.



-10 menit berlalu-



Dengan posisi tertidur, dan mata terbuka cuma segaris, ia bertanya, “Pesen apa?”

“Cuma kentang goreng sama es kelapa.”

“Ada gitu kentang goreng di pantai?” ucapnya, heran.

“Ada kok. Barusan aku beli.”

“Kayaknya nggak cocok makan french fries di pantai.”

“Biarin. Kamu bawel, deh.”

Sang pria lalu mendekat, dan berbisik tepat di telinga, “Inget, bawel-bawel gini, orang ini lho yang ngasih cincin di jari manis kamu.”

“Iye-iye.” balasnya sambil mendorong muka pasangannya jauh-jauh.

“Hehehehe.” tawanya, dengan nada mengejek. ”Terus, gimana???”

“Gimana apanya?”

Mengubah posisi duduknya, sang pria bertatap muka dengan sang perempuan.

“Kita. Ke depannya.”

“Ke depan maksudnya? Kalo ngomong yang jelas napa?”

Duduk semakin bergeser, mendekati pasangannya,



“Itu lho…”



“Anak…”



“Baru juga mulai, udah mikirin anak aja.” katanya, cuek. Seolah tak peduli.

“Lha terus apa dong? Nikah udah, honeymoon udah, ya berarti selanjutnya, anak.”

“Udah, santai aja. Mending liat tuh sunsetnya. Udah mulai tenggelem.”

Alisnya mengkerut, “Kalo ngomongin soal anak, ya harus serius dong, masa santai.”

Sang perempuan berdiri, kemudian mengeluarkan hp dari kantong celananya, “Udah ah, bye. Mau selfie dulu.”

“Hih, malah ditinggal, tungguin dong.”



Dan mereka berdua meninggalkan tempat duduknya, lalu menyatu di pinggir pantai. Membekukan keindahan matahari yang terbenam pelan, seolah-olah tak ingin berhenti menyinari lautan. Warna oranye dan biru bersatu, menjadi saksi dari pasangan yang baru saja mengikat janji. Janji setia yang terikat melalui hati.






Cerpen fiksi ini terinspirasi ketika saya liburan ke Pulau Seribu. Sebenarnya saya mau ngeshare cerita perjalanan liburannya, tapi karena sudah divideokan lewat VLOG, jadi sepertinya tidak perlu dibuat lagi versi tulisannya.

Untuk videonya bisa dlihat di sin

TVLOG - Pulau Seribu

Kalo ingin melihat kumpulan fotonya bisa dilihat di sini 



Akan saya tutup dengan mempromosikan jualan online saya, Arsenio Store ID. Tempat menjual Apparel seperti Sweater, Hoodie, dan Celana yang simple dan minimalis. Cocok untuk traveling dan nongkrong. 

Untuk melihat produknya, bisa kunjungi Instagramnya, di @arsenio.store.id, dan Tokopedianya, Arsenio Apparel Store.

Instagram: @arsenio.store.id

Tokopedia: Arsenio Apparel Store




Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Kalau kamu suka tulisan ini, kamu bisa follow akun KaryaKarsa saya di sini. Dan kamu bisa mengapresiasi kreator, dengan cara memberikan tip di KaryaKarsa. Have a nice day 🙂




- short description about the writer-

I talk & write about movies and pop culture

munggah