Mari Kita Bicara Tentang Minoritas


 "Berbeda-beda tetapi tetap satu jua."
Sepertinya, saya perlu menulis tentang ini. Tentang kondisi dan situasi yang lagi rame sekarang. Di sini, saya tidak berbagi opini. Saya mau berbagi cerita. Yang dengan penuh harap, cerita saya bisa memberikan kesan mendalam. 

#1 Wong Solo

Saya lahir di Solo. Saya sekolah dari TK sampai SD kelas 3 di Solo. Namun, kelas 4 saya sekeluarga pindah ke Bogor, mengikuti Ayah yang kerja di Jakarta. 

Di Bogor, saya sekelas dengan teman baru. Saya, wong Solo, bertemu dengan kebanyakan orang Sunda dan Jakarta. 

Karena asli Solo, jelas suara dan gaya bahasa saya, medok banget. Kadang, saya masih terbawa membawa kata-kata khas Wong Jowo saat ngobrol dengan teman-teman saya. 

"Nanti sore, main yuk. Sepedaan kita!" bilang teman saya, heboh. 

"Oh, mau pit-pitan? Oke, siap!" jawab saya. 

"Apaan tuh pit-pitan?" tanya teman saya, sambil menggaruk-garuk kepalanya. 

(Pit-pitan: sepedaan)

Jadi, bisa dibilang, saya cukup unik dari asal muasal. Berbeda sendiri dengan yang lain. 

Karena keunikan saya ini, teman saya sering sekali mencoba bicara dengan bahasa Jawa. 

"Dy, wes mangan durung?"

"Dy, ayo mulih."

"Dy, awas ada kethek."

Kethek: monyet (bukan ketiak ya) 

Kata mereka cekikikan, dengan suara medok yang dibuat-buat. 

Itu sering mereka lakukan. 

Tapi mereka, melakukan itu bukan untuk mengejek atau menghina saya. 

Mereka melakukan itu karena saya pernah mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang keluar dari mulut saya secara spontan, saat bergerombol dengan mereka. 

Perlukah saya tersinggung? 

Tidak. 

Karena mereka cuma menirukan kata-kata saya. Mereka meniru dengan maksud akrab (dan tentunya bercanda :p) 

Dengan perbedaan itu, saya, satu-satunya Wong Jowo di antara teman-teman, kami masih bisa tetap bercanda, tertawa, dan berbagi cerita. 

"Mau beda suku: jawa, sunda, betawi. Teman, ya, teman. Tidak harus membedakan satu sama lain." 

#2 Muslim

Masih di sekolah saya yang di Bogor, saya 3 tahun di sana (Kelas 4B- 5B-6B). Di 3 tahun itu, kelas saya tidak mengalami perpindahan murid. Tidak ada murid dari kelas A pindah ke kelas B, atau sebaliknya. Paling cuma 1-2 murid baru masuk dari sekolah lain, datang mengisi bangku kosong dalam kelas. 

Di kelas saya, 99% diisi muslim. Wali kelas saya pun juga muslim. Dari murid sekitar 40an, ada 1 murid yang beragama non muslim (sengaja tidak disebut agamanya apa). 

Mari kita sebut dia, Alex. 

Bukan Alexander Graham Bell. Cukup Alex. 

Alex ini, setiap pelajaran agama, selalu keluar kelas, mencari guru agamanya. Biasanya guru agama Alex berada di ruang guru dan dia belajar di sana. 

Sementara kami, belajar pelajaran agama di kelas seperti pelajaran lainnya.  

Terkesan terlalu membedakan? 

Tunggu dulu. 

Saat ulangan harian, UTS, UAS, atau sekarang ada yang namanya UKK, kami mengerjakan soal ulangan di kelas. Di tempat yang sama.

Saat ulangan selesai, biasanya kami saling bertanya bener apa nggak jawabnya, atau sekedar, "Kamu bisa ngerjain nggak tadi?"

Kami juga tanya ke Alex. 

Kami, yang tau dia mengerjakan soal yang berbeda dengan kami, tetap bertanya dan mengajaknya mengobrol seperti biasa. 

Dan dia jawab dengan sejujurnya. Dengan nada ngobrol seperti biasa pula. 

Tidak hanya saat ulangan, sewaktu bermain atau kerja kelompok, kami dan Alex berkumpul seperti biasa. Tidak ada pembatas, tidak ada pengotak-otakan. 

Main, ya, main aja. 

Belajar, ya, belajar aja. 

Simple, kan? 

Sampai sekarang, saya kalo mau kenalan dengan orang lain, selalu bertanya nama, bukan bertanya, "Agamamu apa?"
#3 Kidal

Mari kita merangkum dua cerita tadi, ada satu Wong Jowo nyempil diantara orang Sunda dan Jakarta. Dan ada satu non muslim diantara muslim di kelas tadi. Lalu, apakah kami dipisahkan? Dibedakan? Dijauhi? 

Jawabannya, tidak. 

Kami tidak dipisahkan, tidak dibedakan, tidak pula dijauhi. 

Biasa aja. 

Begitu pun dengan teman saya yang satu ini.

Di cerita sebelumnya, saya pernah bilang tentang murid baru. 

Nah, di kelas 5 ada murid baru. Laki-laki. Rambutnya pendek, kulitnya gelap karena kelamaan main bersama sinar matahari. 

Mari kita sebut dia Wira. Wira Sableng. Hehehe. 

Bercanda kok, cukup Wira. 

Wira ini, kalo tidak salah, datang dari Bandung. Asli Sunda. Bisa bahasa Sunda. Beda dengan saya, cuma apal makanan khas Sunda. 

Ia juga muslim. Kalo pulang sore, kami biasanya sholat di mushola sekolah bareng. Terlihat tidak ada yang berbeda, sampai suatu waktu... 

Saya baru sadar akan keunikannya. 

Saya baru tau, ketika saya duduk di sebelahnya. 

Saat mencatat apa yang ditulis guru di papan tulis, saya menoleh untuk meminjam penghapus milik Wira. 

Barulah saya sadar, kalo dia menulis dengan tangan kiri. Wira ternyata kidal. Wira satu-satunya orang kidal di kelas saya. 

Apakah saya kaget? 

Apakah saya lalu menjauhinya? 

Apakah saya pergi keluar kelas, kemudian pindah ke sekolah lain? 

Tidak. 

Justru, saya penasaran. Saya baru pertama kali berteman dengan orang kidal. Saya malah terus menelusurinya. 

Dari oberservasi saya, saat pelajaran olahraga, dia lebih handal menggunakan tangan kirinya. Saat menendang bola. Saat menolak peluru. Saat memegang raket. Semuanya menggunakan tangan kiri. 

Kami teman sekelasnya, tahu dengan kondisi kidalnya. 

Namun, kami tetap berteman dengannya, tanpa membedakan-bedakan keunikan Wira. 

Jadi, di kelas kami, ada berbagai keunikan dan perbedaan. 

Ada yang muslim, ada yang non muslim. Ada yang Jawa, Sunda, Jakarta (Betawi). Ada yang right handed, ada yang left handed (kidal). Ada yang diantar orang tua, ada yang naik angkot, ada juga yang jalan kaki ke sekolah. 

Ada yang anak sulung, tengah, atau bungsu. Ada pula yang anak tunggal. Ada yang rambutnya lurus, keriting, bahkan botak mengkilap. Ada yang tinggi, kurus, gendut, dan pendek. 

Kami berbeda tiap individunya. 

Kami punya keunikan masing-masing. Ciri khas masing-masing. 

Kami, dengan segala perbedaan itu, bisa hidup bersama.

"Seharusnya tidak ada mayoritas - minoritas. Yang ada itu berbeda-beda tetapi tetap bisa hidup bersama."




Begitu saja dari saya, semoga tulisan bisa memberi kesan dan pesan untuk para pembaca di mana pun kalian berada.





Akan saya tutup dengan mempromosikan jualan online saya, Arsenio Store ID. Tempat menjual Apparel seperti Sweater, Hoodie, dan Celana yang simple dan minimalis. Cocok untuk traveling dan nongkrong. 

Untuk melihat produknya, bisa kunjungi Instagramnya, di @arsenio.store.id, dan Tokopedianya, Arsenio Apparel Store.

Instagram: @arsenio.store.id

Tokopedia: Arsenio Apparel Store


Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Kalau kamu suka tulisan ini, kamu bisa follow akun KaryaKarsa saya di sini. Dan kamu bisa mengapresiasi kreator, dengan cara memberikan tip di KaryaKarsa. Have a nice day 🙂


- short description about the writer-

I talk & write about movies and pop culture

4 komentar

mantep ne artikelnya bisa memperkuat persatuan bangsa indonesia ini...

Reply

Gile, udah lama gue gak ngebaca artikel yang gak memecah belah NKRI! Salut! :D
Anyway, salam kenal ya! Silahkan mampir ke blog gue kalo berkenan hehe :)

Jevonlevin.com

Reply

Ikut seneng kalo postingan saya bermanfaat.

Salam kenal juga. :)

Reply

Posting Komentar

munggah