Perjuangan Menjadi Penulis Buku (part 2)

Melanjutkan dari kisah sebelumnya, ternyata gue masih perlu menguras otot dan keringat lagi untuk mewujudkan salah satu cita-cita gue ini.  

Di Jakarta, atau lebih tepatnya di Bekasi, gue tinggal bersama ayah. Sedangkan adik gue, Ardy, sekolah di Jakarta, tinggal bareng tante gue, dan baru bergabung bersama keluarga aslinya waktu liburan aja.  

Di cerita sebelumnya, naskah gue udah di acc sama Mas Bara, lalu tahap berikutnya, naskah itu masih harus dirapatkan lagi di kantor pusat, kantor gagasmedia Jakarta, dirundingkan soal kelayakannya terbit atau tidak. Nah, jika ternyata udah 'deal' buat diterbitkan, barulah naskah tadi diperlanjutkan ke tahap editing yang bakalan 'duet' bareng editor.

Dan dari hasil rapat mengenai naskah gue adalah ..... 


Gak ada.  


Mas Bara lupa bawa naskah gue saat rapat bulanan naskah baru itu. Jadinya, gue harus mengulang lagi, ngeprint lagi, dan ke penerbit lagi, demi mendapatkan ucapan, "Naskah kamu akan kami terbitkan, Aldy.'' 


Hidup itu susah ya jenderal. *puk puk kepala sendiri*

Perjuangan Menjadi Penulis Buku


Nama gue Aldy Pradana, usia 21 taun, sedang cuti kuliah, dan sekarang, masih mengejar mimpi menjadi penulis buku profesional.  

Gue memulai perjuangan ini saat pindah ke rumah Solo, rumah di kampung halaman, yang sekarang kosong tanpa penghuni. Dengan laptop sodara, gue menulis naskah buku berjudul "Biru Toska: Kisah Mahasiswa di Dua Kota". Isinya tentang kisah gue di dua kota, Solo dan Sidoarjo.  

Naskah jadi, gue print, dan gue bawa ke yogya. 

Di Yogya, tepat di kantor gagasmedia, gue ketemu Mas Bara (@benzbara_), penulis buku fiksi best seller. Gue kasih naskahnya ke tangan beliau. Mirip-mirip kayak seorang samurai memberikan pedang ke gurunya, "Ini pedangnya, sensei!" Dan sang guru pun memegang pedang dan berucap, "Haik! Pedangnya sudah diterima. Ini genre pedangnya apa ya?"  

Lamunan gue terbuyar, "Ha? Genre pedang? Oh, maksudnya genre buku? Ini personal literature mas." kata gue, abis ngelamunin soal samurai dan pedang-pedangan. 

Naskah gue dibuka, dijamah, dielus-elus sama Mas Bara (bentar, ini buku apa kucing?). Kemudian, beliau berkata, "Ini tema utamanya apa Aldy, eh Aldy bener kan?" 

"Iya Aldy, mas. Bisa Aldy, atau AL doang, kayak anaknya Ahmad Dhani." 

Mas Bara melihat dengan sinis. 

"Aldy aja gapapa, mas." kata gue pasrah.  
munggah