3 Bukti Kalo Jatuh Cinta Itu Awal Dari Patah Hati Yang Menyakitkan


Sebenarnya, saya ingin memberi judul postingan ini dengan “Memang Benar, Jatuh Cinta Itu Cara Terbaik Untuk Bunuh Diri”, tapi karena takut membawa banyak pertanyaan, saya memutuskan mengganti judul tersebut.

Lalu kenapa saya ingin ngasih judul postingan ini mirip dengan novel terbarunya Bernard Batubara? Karena inspirasi postingan ini, datang dari judul buku itu.

Saya setuju dengan premis dari Mas Bara. Saya setuju kalo jatuh cinta itu tidak cuma pengalaman indah yang berbunga-bunga, atau bahagia di akhir cerita. Ada kalanya, jatuh cinta membuat sakit tak terkira. Bahkan, sampai merasa kehilangan nyawa.

Saya pernah mengalaminya,

Misalnya,

Saat Bertemu Putri

Terjadi saat SMP, saya menyukai seorang cewek bernama Putri. Perempuan ini cukup tinggi, kulitnya hampir seputih susu, rambut hitamnya panjang menutupi punggungnya. Kadang, ia memakai bando ungu mengikat rambutnya yang lurus itu.

Sebagai secret admirer, saya cuma bisa menyukainya dari jauh. Ibarat bahasa anak muda sekarang, saya sedang mengalami jatuh cinta diam-diam.

Layaknya orang yang suka dengan seseorang, saya lalu mencari banyak hal tentangnya. Nama lengkapnya siapa, ke sekolah naik apa, dan tentunya, nomor handphonenya berapa.

Saat sudah mendapatkan nomornya, saya ingin sekali sms Putri. Permasalahan pun timbul: “Gimana SMSnya ya?”  

Saya ingat, sasya mencari-cari kalimat pembuka yang pas. Muncul beberapa opsi seperti:

-          Halouw, Leh kNaL??
-          Km cAntiQ bGt Sih, KnaLan DoNnngGGx!!
-          AiiyaNkk CinTaquUUuuH BdAdaRiQ ,,,,,,

Dulu, cara sms seperti ini ngetren dan terkesan gaul banget. Sekarang, mengingat kejadian itu, saya merasa jijik sendiri.

Akhirnya, terpilih kalimat yang lebih pas dan simple,

        “Hai, Aq Aldy, Km PutRi y?”

Sms terkirim. Badan langsung panas dingin.

“Dibales nggak, ya?” kalimat yang terngiang-ngiang terus berputar di kepala.

Satu jam berlalu.

Masih nggak dibales.

Dua jam berlalu.

Ada sms masuk.

Saya buka dengan semangat, dan baca pelan-pelan isi pesannya, “ISI ULANG Rp 50RB sd 10 Januari …”

Monyet. Ternyata dari operator.

Tiga jam berlalu.

Akhirnya, ada sms lagi. Saya buka agak males sambil berharap sms ini bukan lagi dari operator.

“Y, iNi PutRi, iNi ALdY Sp yAch?”

Yes! Dia bales sms saya!

Gue balas smsnya, “InI AlDy kelas D, kTa sAtu SekoLaH”

Dan dimulai dari sms itu, saya pun mulai dekat dengan cewek yang gue suka (lewat SMS).

Hampir tiap hari, kami ngobrol lewat ketikan SMS. Topiknya macam-macam, bisa tentang soal ulangan yang susah banget, tentang film Indonesia paling lucu, dan paling aneh, tentang kucing kawin di depan rumah saya.

Semua sms itu saya lalui dengan perasaan senang. Sesenang Marlin waktu menemukan anaknya, Nemo. Sesenang anak kecil yang dibelikan es krim cokelat oleh ibunya. Pokoknya, semua terasa bahagia saat itu.

Saya inget, saya pernah menggambar sosok Putri di buku catatan gue. Yang kemudian, dilihat teman sebangku saya, Abid.

“Gimana, Bid? Bagus, kan? Cantik, sama kayak aslinya?”

Abid memandang sinis, “Ho’oh, Dy, Cantik. Koyo ibu perawan tua sing ra tau dijamah.”

“Asem.” kata saya, singkat. Lalu, menutup buku catatan saya.

“Jek smsan karo Putri, Dy?” tanyanya, mengganti topik pembicaraan.

“Masih. Ngopo?”

Abid menatap serius, “Kasih something ngono, Dy, spesial buat Putri. Mosok mung smsan terus?”

“Bener juga.” Saya manggut-manggut.

Perkataan Abid membuat saya berpikir. Saya harus memberi something yang pas buat Putri.

Beberapa menit berlalu, saya mendapatkan ide. Tidak tahu kenapa, saya ingin memberinya CD MP3. Mungkin berdasarkan observasi saya, ia cukup dekat dengan ‘musik’.

Saya pernah melihatnya ikut pensi. Saya juga ingat, dia pernah sms seperti ini, “Aq LaGi SKa sAmA lAguNyA AstRid niCh. YaNG JdikAn aKU yG keDua.”

Mohon maaf jika tulisan anda membuat pusing dan lupa ingatan. Agar tidak bingung, saya akan jelaskan artinya.


“Aku lagi suka sama lagunya Astrid, nih, yang Jadikan Aku Yang Kedua.”


Dari situ, saya cukup yakin, MP3 adalah something yang tepat buat Putri.

Dasar tidak bakat bikin surprise, saya malah memberitahu dia.

*karena sms alay ternyata membuat sakit mata sang penulis, penulis memutuskan untuk menuliskan dengan bahasa Indonesia yang normal dan sehat*

“Aku pengin ngasih kamu sesuatu, lho.”
“Apa?”
“MP3 lagu Indonesia.”
“Aku nggak gitu suka sama lagu Indonesia, Aldy.”
“Lho, bukannya kamu pernah ngomong suka lagunya Astrid – Jadikan Aku Yang Kedua?”
“Iya, sih, tapi, aku lebih suka lagu barat.”
“Kayak?”
“Simple Plan, Good Charlotte, Green Day, gitu.”
“Oh gitu. Ya udah, aku kasih kamu MP3 lagu yang campur Indonesia-Barat aja.”

Setelah percakapan lewat sms itu, dengan cepat, saya segera pergi ke mall terdekat.

***

Esoknya, saya membawa something untuk Putri, CD berisi MP3 lagu-lagu kesukaannya. Hari itu, saya bersiap untuk pertama kalinya bertemu dan ngobrol langsung sama Putri.

Sesudah pulang sekolah, ia sms, “Mana MP3nya?”

“Ada, nih, kamu kesini aja, ke gerbang ke sekolah.”

Saya lalu memasukkan handphone ke dalam kantong celana, menanti dia datang. Selama menunggu, jujur, saya deg-degan. Jantung kayak lagi mainin musik heavy metal. Keringat mengucur deras mirip genteng bocor pas hujan. Saya grogi.

Sekitar 15 menit menunggu, akhirnya ia tiba.

Rambutnya dibiarkan teruai tertiup angin. Jaket hitamnya tertutup rapi, tanda bersiap untuk pulang. Dia, tampak cantik seperti biasanya. Dan, itulah pertama kalinya saya melihat Putri sedeket itu.

Ia lalu membuka tangan kanannya, menagih MP3.

Saya masih diem. Mlongo. Terlalu takjub sama kecantikannya Putri.

“Aldy, mana MP3nya?” katanya, dengan suara imut.

“Oh, iya.” Saya kembali ke dunia nyata, lalu membuka tas punggung. 

“Nih, Put, semua lagu favoritmu ada disitu.”

“Oke. Makasih, ya, Al.” ia tersenyum, lalu meninggalkan saya. Ia berdiri di tempat ia biasa menunggu dijemput orang tuanya, yaitu di bawah pohon depan sekolah.

Saya sendiri masih meleleh karena bisa sedeket itu dengannya.

Walaupun sebenernya, saya berharap pertemuan kami bisa lebih daripada itu. Saya berharap bisa ngobrol lebih lama, lebih deket, dan lebih intim.

Saat masih membayangkan harapan yang ketinggian bersama Putri, saya melihat Putri dijemput. Biasanya, memakai motor Honda Supra Fit, orang tuanya yang menjemput, kadang ayah atau ibunya.

Tapi kali ini beda, yang menjemput, terlihat lebih muda. Seorang cowok dengan badan gagah, menggunakan banyak gelang di pergelangan tangannya, dan memakai seragam serta celana pendek warna biru. Motornya juga Satria F modifan dengan knalpot bersuara seberisik petasan.

Saya lihat lebih teliti cowok itu.

Sekali lagi, saya lihatt lebih detail dari atas sampai bawah cowok itu.

Saya tersdar.

“LHAH, ITU KAN KAKAK KELAS!” ucap saya, terkejut.

Putri duduk dibelakang, lalu merangkul sang kakak kelas. Mereka berdua berpacu mesra diatas motor, meninggalkan saya yang cuma bengong.

Saya tidak mengerti.

Setau saya, dia tidak punya pacar.

Setahu saya, dia tidak dekat dengan cowok lain. 

Tiba-tiba dia bermesraan dengan cowok lain, tepat setelah saya memberi sesuatu ke dia. Tepat, disaat saya berharap lebih ke dia.

Saya menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengerti apa yang terjadi, mencoba mengurangi rasa sakit di dada ini.

Tak tau harus berbuat apa lagi, saya memutuskan untuk pulang. Saya memutuskan untuk melupakan semua ini. Dan selama berjalan menuju tempat parkir sepeda, gue baru ngerti kalo jatuh cinta itu bisa membuat luka sesakit ini.

Saat Bertemu Terry 

(2 cerpen berikutnya hanya tersedia dalam konten berbayar di Karya Karsa)




Akan saya tutup dengan mempromosikan jualan online saya, Arsenio Store ID. Tempat menjual Apparel seperti Sweater, Hoodie, dan Celana yang simple dan minimalis. Cocok untuk traveling dan nongkrong. 

Untuk melihat produknya, bisa kunjungi Instagramnya, di @arsenio.store.id, dan Tokopedianya, Arsenio Apparel Store.

Instagram: @arsenio.store.id

Tokopedia: Arsenio Apparel Store



- short description about the writer-

I talk & write about movies and pop culture

3 Pengalaman Aneh Saat Nonton Film di Bioskop


Gue punya hobi nonton film di bioskop sendirian. Bukan karena faktor jomlo, atau nggak punya temen, tapi gue merasa ada suatu keseruan tersendiri saat nonton sendirian. Nggak ribet, dan nggak perlu sibuk menanggapi pertanyaan dari temen, “Eh, kok dia bisa hidup lagi, sih, Dy? Jelasin dong.”

Kalo nonton sendirian, semua terasa lebih tenang dan jadi bisa lebih fokus sama cerita filmnya.

Dari kebiasaan gue ini, gue menemukan beberapa pengalaman yang cukup nyeleneh.

Misalnya,

Saat nonton The Raid

Gue inget, gue nonton di hari pertama film itu tayang, tanggal 21 Maret 2012. Di bioskop 21, Solo Grand Mall, penonton memenuhi studio itu. Gue mendapatkan posisi tempat duduk yang enak, kalo nggak salah di tengah, di kursi D.

Film dimulai, semua berjalan normal seperti seharusnya.

Iko Uwais aktingnya masih datar waktu itu. Saking datarnya, bahkan ada yang ngira kalo tokoh utamanya bukan dia, tapi Joe Taslim. Pas adegan Joe Taslim dibunuh sama Mad Dog, gue denger ada salah satu penonton ngomong, “Lho, kok jagoannya mati?”

Ternyata, tampang dan akting Joe Taslim jauh lebih jagoan daripada Iko Uwais.

Memang sih, aktingnya jauh lebih meyakinkan daripada Iko. Raut mukanya Iko kayak Kristen Stewart. Datar, dan tanpa ekspresi.

Saat asik menonton, gue memperhatikan di sebelah kanan gue ada seorang cowok berumur 30an. Memakai jaket berwarna putih, berkacamata, beramput hitam cepak. Tiap adegan sadis terpampang, tangannya selalu meremas sandaran kursi studio. Kadang, ia menutup mata, tanda kengerian.

Dan setiap ia melakukan itu, gue selalu bilang dalam hati, “Hih, dasar cowok cemen.”

Songong, ye? Hehehe.

Namun, ada orang yang jauh lebih songong dari gue waktu itu. Orang itu duduk di sebelah kiri gue. Cowok, berumur sekitar 17 taunan. Gayanya modis, tapi cenderung alay. Di sebelah kirinya, ada pacarnya, yang memeluk erat tangan cowoknya.

Kenapa gue tau sedetail itu? Karena gue memang sengaja untuk tau cowok norak ini. Gue ingin tau gimana bentuk cowok kemaki ini.

Cowok ini duduk dengan menyandarkan kakinya di kursi yang berada di depannya. Saat itu kursi depannya emang kosong, tapi tetep aja, melanggar etika menonton di bioskop.

Tiap ada adegan sadis, ia ngomong, “Anjing! Sadis banget!”

Tiap ada adegan berantem yang seru, ia teriak, “Gila, keren banget gerakannya.” Kemudian, ia meniru gerakan yang ia rasa keren, sambil mengeluarkan efek suara sendiri, “Duak! Duak! Duak!”

Pacarnya menoleh, lalu berkata, “Yang, apaan sih? Nontonnya yang tenang.” sambil menarik tangan kiri cowoknya. Tapi tetap, cowoknya nggak menggubris. Ia tetap nonton seakan-akan studio itu miliknya sendiri.

Dasar kampret.

Pengin banget negur cowok alay itu, “Mas, tolong kakinya turunin sama tingkahnya lebih sopan dikit. Ini studio bioskop, bukan kebun binatang. Pertama kali nonton di bioskop, ya?”

Tapi, kayaknya ia nggak bakalan dengerin kata-kata gue. Biasa, cowok alay kalo dinasehatin, bukannya ngebenerin perbuatannya, malah makin jadi dan makin ngeselin.

Akhirnya, gue cuma bisa pasrah dengan gayanya heboh itu. Merasa rugi telah membayar 25 ribu untuk pengalaman nonton seperti itu.

Muka gue selama nonton

Saat nonton Wreck-It Ralph

Lain lagi saat nonton film kartun ini. Gue inget, gue menonton film ini di  Cito, Surabaya. Studio itu cukup sepi, hanya sekitar 10 orang doang.

Gue (masih) menonton sendirian, dan duduk di kursi B bagian tengah. Penonton lain juga memilih bagian tengah, entah di kursi A, C, atau D. Studio yang sepi, selalu dimanfaatkan untuk mendapatkan tempat duduk yang enak.

Namun, ada yang berbeda pendapat sama opini gue barusan.

Ada satu pasangan, cowok-cewek (ya, iyalah, masak cowok-cowok, hembrong dong) yang milih kursi di bagian pojok kiri atas. Studio yang sebegitu besarnya, lalu sepi pula, bukannya dimanfaatkan untuk dapet kursi yang enak buat nonton, tapi malah milih kursi yang paling nggak enak.

Yaitu, di pojok kiri atas.

Apakah gue curiga dengan mereka?

Jelas.

Dua anak SMA, yang masih mengalami masa-masa puber, kasmaran, dan otaknya dipenuhi nafsu cinta yang menggebu-gebu. Duduk berdua di tempat sepi, gelap, dan dingin. Apa yang bisa mereka lakukan selain saling menghangatkan?

Gue coba menepis pikiran kotor itu.

Gue nikmati aja film Wreck-It Ralph sampai selesai.

Filmnya rampung, gue pun puas. Ternyata, filmnya bagus banget. Gue langsung memasukkan film ini sebagai salah satu film terbaik menurut gue.

Gue lalu berdiri, bersiap keluar dari studio. Gue melirik ke kursi bagian kiri atas, mencuri pandang kepada pasangan SMA tadi. 

Gue liat, si cewek membenarkan jaketnya. Ia menutup resleting jaket hitamnya, lalu merapikan rambutnya yang agak berantakan. Sedangkan si cowok, ia mengeluarkan seragamnya, kemudian mengencangkan ikat pinggangnya.

Gue mengembalikan pandangan ke depan, mencari tanda EXIT di studio.

Keluar dari studio, gue berkata dalam hati, “Kayaknya, pasangan tadi puas banget, deh.” sambil mencoba nggak iri karena nonton film ini sendirian.

bayangin sendiri aja mereka ngapain, nggak perlu pake gambarnya, kan?


Saat nonton The Raid 2

Ini terjadi pada Jum’at, 28 Maret 2014. 

Gue dan Abid berencana nonton The Raid 2 di hari pertama penayangan, dan di jam pertama tayang, yaitu jam 12.45. 

Masalahnya, itu sehabis solat Jum’at. Berarti, kami mau nggak mau harus ngebut, karena di jam berikutnya, kami berdua nggak bisa nonton karena punya acara lain.

Jam dinding menunjukkan pukul 12.00

Adzan sudah selesai, sekarang Khotib bersiap berceramah di atas mimbar.

“Menurutmu bakal tekan, Dy?” tanya Abid.

Tekan. Masjid iki biasane cepet, kok.” jawab gue, singkat.

15 menit berlalu, Khotib masih bersemangat berceramah.

25 menit berlalu, Khotib masih berceramah dengan menggebu-gebu.

“Hoi, ngomongmu cepet? Opone sing cepet?” tanya Abid, meledek.

“Biasane cepet, sih. Palingan abis ini selesai.” gue menjawab sambil melihat jam dinding. "Nah, kui wes rampung. Ayo, geg ndang solat, geg ndang mangkat."

Kami pun solat solat Jum'at berjamaah. Dan akhirnya, baru selesai pukul 12.35.

"10 menit sebelum film tayang, dan kita bahkan belum nyampe di bioskop XXI lho, Dy." seru Abid, lagi-lagi meledek.

"Tenang." kata gue. "Solo Square deket kok dari sini, 5 menit nyampe. Tapi, tetep, kita harus ngebut."

Dengan cepat, kami menuju parkiran motor, dan siap menuju lokasi. 

Kami melalui jalan raya yang cukup rame waktu itu. Layaknya game Minion Rush, kami meliuk-liuk melewati mobil demi mobil. Saat jalanan sepi, meski cuma beberapa meter doang, kami manfaatkan dengan menancapkan gas semaksimal mungkin.

Saking ngototnya saat ngebut, tanpa sadar, kami menyenggol salah satu spion motor. 

"HEH!" teriak sang sopir. "Padakke ki dalane mbahmu!"

Kami pun segera minta maaf (dalam hati), lalu melengos pergi masuk ke Solo Square.

Jam menunjukkan pukul 12.40

"Beneran kan 5 menit." kata gue, menoleh ke Abid. "Sekarang, tinggal beli tiketnya. Moga aja masih kebagian tempat duduk yang enak."

"Ho'oh, 5 menit. Nyopirmu ugal-ugalan ngono kui, kok." balasnya, emosi.

Gue membalas pelan, "Demi The Raid 2, Bid. Nggak pengin duduk depan sendiri, kan? Rugi lho, Bid."

"Betul juga. Nonton ndangak kui ra penak tenan."  

Sadar, misi belum selesai. Kami pun berlari ke studio XXI. Serius. Kami berlari.

Dari parkiran, kami berlari bagaikan atlet lari. Bedanya, atlet  berlari demi mengharumkan nama bangsanya. Kami berlari demi mendapatkan tiket The Raid 2. Sungguh, perbedaan yang jomplang sekali.

Saat lagi naik ke jalanan yang cukup sempit menuju pintu belakang Solo Square, ada mobil barang berjalan mundur ke arah kami.

“Awas, Bid.”

Kami lalu menempelkan diri ke dinding, menghindari mobil tadi.

Entah sopirnya lagi ngantuk atau abis minum oplosan, setirannya hampir membuat mobil itu mengenai badan kami.

What the…” bilang gue, kaget ada mobil mau menyet badan kami.

Kami lalu berusaha mengubah badan kami seperti lidi agar nggak gempeng.

“Woi, Dy.” Di sela-sela kejadian itu, sempat-sempatnya Abid memanggil. “Kita emang mau nonton The Raid, tapi ra sah ngubah uripku koyo The Raid!”

Gue cuma diam, bingung mau ngerespon apa di tengah-tengah kejadian yang aneh itu. 

Jam menunjukkan pukul 12.44

Selamat dari serangan mobil, kami langsung melanjutkan misi ke XXI.

Sampai disana, kami berjalan ke mbak-mbak penjual tiket.

“The Raid 2, mbak.” kata gue, ngos-ngosan gara-gara lari.

Mbak-mbak bermake up tebal itu lalu menunjukkan layar tempat duduk. Serentak, kami menengok ke layar.

“Oi, Bid…”

“Ternyata, The Raid 2-nya masih sepi, hehe.” sambung gue, polos.

Abid menatap tajam penuh dendam, “Asem tenan koe, Dy.” 

Kami lalu membayar dan segera masuk ke studio.

Di studio, kami berdua menikmati setiap adegan dari The Raid. Jelas, nonton film nggak pernah seribet ini sebelumnya. 



Akan saya tutup dengan mempromosikan jualan online saya, Arsenio Store ID. Tempat menjual Apparel seperti Sweater, Hoodie, dan Celana yang simple dan minimalis. Cocok untuk traveling dan nongkrong. 

Untuk melihat produknya, bisa kunjungi Instagramnya, di @arsenio.store.id, dan Tokopedianya, Arsenio Apparel Store.

Instagram: @arsenio.store.id

Tokopedia: Arsenio Apparel Store



- short description about the writer-

I talk & write about movies and pop culture

munggah