Hari Pertama Bekerja

Sebagai bentuk keseriusan saya berjuang menjadi penulis buku, saya memutuskan pindah ke Jakarta. Lebih tepatnya, pinggiran Bekasi dan Kabupaten Bogor.


Saya tinggal di sana bersama Ayah dan adik saya. 


Saya yang sebelumnya sudah cuti satu semester di Umsida, sepertinya harus menambah durasi menjadi satu taun. Keputusan ini dapat berubah. Antara menjadi melanjutkan kuliah di tempat saya sekarang, atau sekalian putus kuliah. Ini masih belum pasti. Biarkan waktu yang menjawabnya nanti.


Sekitar Agustus 2014, saya masih menunggu hasil kabar dari editor Bukune. Sementara itu, saya mencari pekerjaan di sekitar rumah. 


Ada salah satu kerabat keluarga memberikan rekomendasi, “Aldy, kamu mau jadi guru? Ini mumpung ada sekolah lagi butuh guru cowok sekarang.”


“Guru? Tapi kan aku bukan lulusan FKIP. Malahan, aku belum lulus sama sekali.”


“Oh ini beda.” balasnya. “Sekolah ini nggak kayak sekolah umum biasanya. Sekolahnya di tempat terbuka gitu, ada TK sama SD. Nama sekolahnya Sekolah Alam Bambu Item, atau disingkat SABIT.”


SABIT?


Apakah sekolah ini berisi murid-murid yang suka menyambit gurunya? 


Atau memang ada salah satu pelajaran dimana murid wajib menyambit rumput di luar sekolah?


Daripada saya berpikir macam-macam, saya bertanya lagi, “Terus aku bisa ngajar disana?”


“Palingan kamu jadi asisten, atau bantu-bantu, nggak langsung ngajarin anak.” katanya. “Gimana kamu berminat? Kalo berminat kamu bikin aja CV-nya.”


“Ya udah, boleh deh.”


Saya membuat CV, lalu mengirimkannya lewat e-mail.


Sampai suatu hari, salah seorang dari sekolah itu menelpon.


Ia meminta saya langsung datang besoknya. Tanpa bekal apa-apa soal bekerja dan mengajar, saya berangkat ke sana dengan sepeda yang ada di rumah.


“Saya Aldy. Saya kemarin mengirim CV ke sekolah untuk melamar pekerjaan.” bilang saya kepada salah satu orang di kantor.


“Silakan tunggu di dalam, Mas.”


Saya lalu duduk di kursi rotan menghadap ke arah jendela. 


Mengamati pemandangan di luar jendela, saya lihat sekolah ini memang berbeda sekali. Kelasnya berbentuk seperti rumah kayu. Lingkungannya luas dan dikelilingi banyak tumbuhan. Sekolah ini terasa adem sekali.


“Aldy, ya?” kata seorang pria, yang kemudian duduk di depan saya..


“Iya pak.”


Pria itu menjelaskan, “Oke, langsung aja ya. Hari ini kamu cuma sekedar observasi aja. Besok baru mengajar biasa, tapi kalo mau bantu-bantu, gapapa.”


“Mas Aldy nanti berada di kelas Conditioning. Di sana, Mas akan bertemu anak-anak spesial. Tiap guru dapet dua anak, dan dua anak itu nanti diajarin, disuapin, dijagain sama guru yang bersangkutan.”


“Nah, kalo Mas sendiri akan mendapat Insan sama Alif ya. Nanti bisa tanya-tanya dulu aja sama guru lain, anaknya yang mana, sama gimana caranya menjaga dan ngajarinnya.”


Saya mendengarkan, sambil mengangguk agak pelan.


“Ya udah sekarang, kamu masuk kelas aja. Keluar dari kantor ini langsung belok ke kiri aja, nanti ada nama tag Conditioning, langsung masuk ke sana aja, Mas.” jelas beliau, sambil menunjukkan jalan.


Berjalan di bawah pohon rindang menuju kelas, saya berpikir,


Apa ya maksudnya anak spesial? Dan kenapa tiap guru menjaga dua anak? Terus kenapa pake disuapin juga? Apa ini bentuk pembelajaran pembeda dengan sekolah lain? Bener-bener sekolah yang unik.


Tiba di kelas, saya melepas sepatu, dan membuka pintu kelasnya pelan-pelan.


Pintu terbuka, terlihat banyak anak berlarian.


Ada yang lari sambil mengemut sedotan, ada yang melompat-lompat.Tingkah mereka masih seperti anak lainnya, tapi ada yang beda. Mereka seperti sibuk sendiri.


Barulah saya paham maksud dari anak spesial.


Masih mencoba beradaptasi, salah satu guru yang berada di kelas, mendatangi saya, “Kak Aldy, ya? Guru baru? Itu Insan sama Alifnya di pojok kelas. Silakan dideketin aja dulu, kalo ada apa-apa bilang aja.”


“Oh iya, bu.”


Saya mendatangi mereka,”Halo, Ini Alif sama Insan ya? Kenalin, ini Kak Aldy, guru baru di sini.”


Mereka tidak memberikan respon. Insan masih sibuk melompat-lompat, sedangkan Alif masih duduk menghadap ke bawah.


“Ayo anak-anak, sekarang belajar ya.” kata guru yang tadi, yang belakangan saya ketahui namanya adalah Bu Dina.


Ia memberitahu saya, “Sekarang, belajar motorik halus, jadi belajar puzzle, memasang jepitan, merajut gitu. Coba itu anaknya diajarin, Kak.”


Saya memasang muka sok ngerti. Saya lalu mengambil jepitan jemuran dan satu buku. Saya pangku Insan terlebih dulu dan bilang, “Insan, ayo dipasang jepitannya ke buku.”


Dia melirik ke kanan-kiri. 


Saya berucap lagi kata yang sama, “Insan, ayo dipasang jepitannya ke buku.”


Dia masih melirik ke kanan-kiri.


“Yang tegas, Kak. Kalo masih nggak mau, coba tangannya dipegangin.” sahut Bu Dina.


Saya ambil sedotannya, memegang tangan Insan, dan memaksanya mengambil jepitan, 


Perlahan, Insan paham instruksinya. Ambil jepitan, lalu jepitkan ke buku.  


Ini bukan karena dia tidak mau menuruti instruksi. Ini lebih ke respon dia yang memang tidak secepat anak pada umumnya.


Saya melanjutkan mengajarkan Insan soal jepit menjepit. Insan selesai, saya bergantian mengurusi Alif. 


Saya panggil namanya dengan keras, tapi ia sama tidak menengok. Ia malah bersujud, merem. Tak ingin suara saya habis, saya angkat paksa badannya.


“EEEEEHHHHHHH!”


Saya tidak kuat.


Ternyata dia berat, dan sangat kuat.


Dari posisi sujudnya itu, saya coba tarik kedua tangannya, lalu memaksanya untuk duduk. Dengan cepat, saya pangku dia dan memintanya untuk memasang jepitan ke buku,


Dia menolak, memukul jauh jepitannya, dan sekuat tenaga melepas pangkuan saya. Ia kembali lagi ke posisi bersujud. 


Sewaktu saya hendak menarik tangannya lagi, saya merasakan air dingin menyentuh ujung jempol kaki saya. Air dingin itu lama-lama semakin menyebar dan membasahi seluruh kaki saya.


“Duh, ngompol.” ucap saya, menyangka memang ini triknya untuk menghindari belajar.


Saya menghindari air pipisnya dengan berjinjit. Saya perhatikan airnya terus meluas, merambah kemana-mana. Celana Alif sendiri sudah basah semua. Apalagi ditambah ia berposisi bersujud, tangan dan sedikit dahinya juga basah kena pipisnya sendiri.


Melihat hal itu, Bu Dina memberikan nasehat, “Udah, biarin aja, anak itu emang susah belajarnya. Mending kamu ambil pel sama ganti bajunya aja.”


“Iya, Bu.”


Hari pertama saya bekerja berakhir dengan mengepel air pipis dari murid saya.


Sungguh, pengalaman yang tidak mungkin terlupakan.


(Blog ini direvisi di 2020, agar tidak terjadi salah paham dengan bahasa yang sebelumnya saya pakai)


begini nih, keadaan kelasnya

6 komentar

lucu banget pak guruuu:)))

Reply

dari hal itu ente bljr byk sob , bljr untuk bs sabar dan terus berusaha.. smangat sob! visit back ya sob http://e-aksesorisoriginal.blogspot.com/

Reply

Emang pengalaman yang lucu sekaligus unik sih :)

Reply

Wahaha jadi pak guru, kayaknya susah banget ya ngajarnya. Semoga betah hehe

Reply

Kalo sabar, pasti betah kok :D

Reply

Posting Komentar

munggah